Free tutorials and consultations MENDELEY, SPSS, EXPERT CHOICE, SUPER DECISION, etc. Every Friday at 10:00 am on the 3rd Floor of Campus A STEI Indonesia. Please call the cellphone number or WA 081210106680.

20100502

2 Mei 2010 - Bagaimana Wajah Pendidikan Kita?

Tepat 2 Mei 2010 kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, tidak ada gaung keras terdengar hari itu, yang ada adalah keluhan bahkan tangisan ratusan bahkan ribuan anak-anak SMU yang tidak lulus UN, ditengah pendidikan yang terasa semakin mahal meskipun sudah ada wajib belajar 9 tahun gratis, di tengah ketakutan ibu-ibu orangtua murid yang khawatir anaknya bodoh sehingga berusaha mengikutkan anaknya ke BIMBEL2 yang bertebaran seperti jamur padahal Sekolah2 Mengaku Standar Nasional bahkan Internasional!, dan nyatanya kita tetap saja menjadi negara yang ketergantungannya sangat tinggi pada bantuan negara luar dan budaya korupsinya nomor wahid! Apa yang salah dengan pendidikan kita? Apa ada hubungannya dengan budaya kita? yang sekarang mulai beralih ke mengandalkan Facebook, Twitter, Game Online, Blackberry, dsb. Mari introspeksi diri kita! demi bangsa kita, anak2 kita!
Mungkin Sajak Sebatang Lisong karya WS. Rendra ini bisa dijadikan penggugah makna semua ini!

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

ITB Bandung - 19 Agustus 1977